Minggu, 05 Januari 2014

TITIK TEMU NU & MUHAMADIYAH



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi islam terbesar di Indonesia dengan jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman (istilah Mas Surya Paloh). Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, Pendudukan Jepag, Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Dan Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan waktu antara sidang tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) era keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk menfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali ke Khithaah 1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau “politik luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi  dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.

  1. Rumusan Masalah
  1. Mengetahui kronologi perbedaan NU dan MUHAMMADIYAH
  2. NU dan MUHAMMADIYAH siapa yang benar

  1. Tujuan
Mengetahui dan memahami dua Organisasi Islam NU dan Muhammadiyah











BAB II
PEMBAHASAN

Kronologi  Perbedaan NU dan MUHAMMDIYAH
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis.
Tatkala Muhammadiyah sedang menyelenggarakan Sidang Tanwir (mulai tanggal 24 Januari dan berakhir pada tanggal 27 Januari 2002 yang bertempat di Denpasar Bali), maka tepat pada tanggal 31 Januari 2002 Nahdhatul Ulama (NU) merayakan ulang tahunnya yang ke-76. Inilah sebuah koinsidensi historis menarik yang terjadi awal tahun 2002 ini. Pertanyaannya kemudian, apakah sesuatu yang menarik itu juga merupakan hal penting dan signifikan. Jawabannya bisa dua, “ya” dan “tidak”.
Kalau dipandang dari dimensi “teks”nya semata, maka jelas koinsidensi historis itu merupakan peristiwa biasa yang normal terjadi, karena ia berlangsung secara kebetulan dan natural, tanpa ada disain dan rekayasa. Dengan demikian, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Namun, jika ditelaah dari sudut konteksnya, maka koinsidensi historis itu bisa diberi makna yang lebih strategis dan penting. Dan agaknya cukup tepat memaknai koinsidensi historis itu dari sudut pandang kontekstual ini.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani.
Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 Januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 Nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya, meminjam istilah Mas Surya Paloh, merupakan organisasi tujuh zaman. Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan sekarang era Reformasi. Dilihat dari sudut historisitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing, keduanya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius ke dalam lokus keindonesiaan.

Pada optik itulah, koinsidensi historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan segala suka dukanya, maka kebersamaan waktu antara Sidang Tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) peran keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk memfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammadiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan kredonya “Kembali ke Khithah 1926” dan Muhammadiyah dengan slogannya “High Politics” atau “Politik Luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat.
Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya bagi keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
Untuk sampai ke arah itu, diperlukanlah keberanian moral untuk mengakhiri dan menyudahi polarisasi politik antara NU dan Muhammadiyah yang selama ini terjadi. Dalam konstelasi yang paling kontemporer, misalnya, masing-masing perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB, dan Muhammadiyah dengan PAN. Ini penting dikemukakan, karena walaupun secara formal-institusional antara NU dengan PKB dan Muhammadiyah dengan PAN tidak mempunyai hubungan, namun pertengkaran yang pernah terjadi antara Abdurrahman Wahid (PKB) dan Amin Rais (PAN) bagaimanapun telah menyebabkan NU dan Muhammadiyah berada dalam ketegangan dan hubungan yang tidak mesra. Dalam konteks itu, penegasan kembali oleh Syafi’ie Ma’arif dalam Sidang Tanwir di Denpasar Bali bahwa Muhammadiyah tidak memiliki hubungan organisasitoris dengan partai manapun, dan Muhammadiyah tidak akan memasuki wilayah kekuasaan (Kompas, 28/1/2002) perlu mendapatkan apresiasi yang cukup.
Begitu juga, walaupun menyulut kegeraman Ketua Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid, ketidakhadiran Hasyim Muzadi dan Sahal Mahfudz (masing-masing sebagai Ketua Umum dan Rais ‘Am PBNU) dalam MLB PKB versi Alwi Shihab di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya kira merupakan awal yang baik untuk menjaga netralitas dan independensi NU berhadapan dengan berjibun partai politik, sehingga NU tetap berada di garis orbitnya (Khithah 1926), setelah sepanjang 1999-2001 seluruh energinya terkuras habis untuk megamankan posisi Gus Dur dari kursi kepresidenannya.

Hubungan NU dengan PKB atau PAN dengan Muhammadiyah cukuplah dimaknakan dalam hubungan historis-kesejarahan. PKB didirikan oleh PBNU yang waktu itu diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dan kemunculan PAN tak terlepas dari andil besar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amin Rais.
Secara lebih jauh, penarikan garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB atau Muhammadiyah dengan PAN merupakan langkah strategis, agar NU dan Muhammadiyah bisa optimal bekerja pada gerakan pemberdayaan civil society (istilah yang populer di kalangan NU) atau masyarakat madani (istilah yang nge-trend di kalangan Muhammadiyah). Pilihan inilah yang paling ideal, meskipun oleh sebagian politisi Islam akan dinilai tidak strategis dan realistis. Namun, seharusnyalah baik NU maupun Muhammadiyah tetap mengutamakan yang ideal tersebut, dan tidak begitu saja terjebak pada kubangan politik praktis yang bersifat tentatif dan fluktuatif. Tegasnya, kedua organisasi ijtima’iyah-diniyah ini dituntut untuk mencadangkan diri sebagai wahana penciptaan dan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society).
Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk menggiatkan kreativitas ekonomi rakyat. Sebab, telah cukup lama warga NU dan Muhammadiyah berada dalam proses peminggiran yang tak ketulungan. Ambil contoh, warga NU yang tinggal di desa-desa dan anggota Muhmmadiyah yang berada di perkotaan telah dipertemukan dalam suratan yang sama, yaitu marginalisasi ekonomi. Tengoklah, para petani yang tanahnya terampas, penggusuran rumah pemukiman miskin (slum) di kota, para pedagang batik dan kretek yang kelimpungan. Kurangnya perhatian terhadap kelompok tertindas itu, menyebabkan mereka semakin terpojok berada di periferi secara ekonomi.
Ketiga, sama-sama merumuskan agenda masing-masing yang pada suatu ketika diarahkan pada pembentukan konvergensi--terutama dalam kerangka peningkatan sumberdaya manusia. Untuk membenahi sistem pendidikan di pesantren-pesantren milik warga NU, misalnya, para pengasuh pesantren tidak perlu malu-malu dan segan untuk meminta masukan bahkan belajar banyak dari kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang pengelolaan lembaga pendidikan. Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi banyak mendapatkan pengakuan dari publik. Begitu juga, bagi Muhammadiyah. Untuk mengatasi kelangkaan para ulama yang mampu merujuk dan mengakses pada khazanah intelektual keislaman klasik, maka tidak mengapa jika Muhammadiyah memasoknya dari NU yang konon sudah kelebihan stok untuk itu, paling tidak hingga saat ini.

Keempat, memikirkan secara lebih serius mekanisme komunikasi yang produktif di antara kedua organisasi Islam terbesar itu untuk mencari titik-titik temu fundamental dan menghindari titik-titik pecah permukaan. Sebab, antara kedua organisasi keagamaan terbesar itu, sesungguhnya memang tidak ada perbedaan yang menyolok. Secara teologis, misalnya, antara keduanya ditemalikan dalam dasar-dasar dan konsep-konsep fundamental keagamaan yang sama. Tak dapat diragukan bahwa keduanya adalah termasuk golongan Muslim Sunni, yang melaksanakan pokok-pokok keimanan dan sendi-sendi ibadah yang sama. Perbedaan keduanya hanya menyangkut masalah furu’iyah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Namun, dalam sejarahnya, masa`il furu’iyah inilah yang seringkali memacetkan jalur komunikasi antarwarga dua ormas ini

Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis-krisis sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang sedang melanda bangsa ini. Sebab, akutnya kemelut yang melanda bangsa Indonesia hari ini agaknya tidak bisa dipasrahkan penyelesaiannya hanya kepada tangan negara. Di sini, NU- Muhammadiyah yang warganya paling dahsyat tertimpa badai krisis itu--mulai dari krisis ekonomi, sosial hingga krisis politik--harus mengorientasikan dan memfokuskan program kerjanya secara sungguh-sungguh pada advokasi dan pemberdayaan warganya. Seruan keprihatinan beberapa waktu yang lalu oleh para tokoh agama-agama yang juga menyertakan tokoh NU (Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (Syafi’i Ma’arif) bahwa Indonesia sedang berada di ambang kebangkrutan dan kehancuran, harus segera dilanjutkan kepada kerja-kerja yang lebih konkret.

Muhammadiyah dan NU adalah organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia Muhammadiyah dan NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih juga. Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi memiliki berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari “madrasah”(school of thought)  berbeda, yang sesungguhnya sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad kembali ke al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran islam.
Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak kategori TBC tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap sunnah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah diikuti kalangan terdidik dan masyarakat kota.


Disisi lain NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan pandangan antara keduanya:
MASALAH
NU
MUHAMMADIYAH
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
Mengikuti paham Asy’ariyah/Maturidiyah
Mengikuti paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
Fiqih
Keharusan mengikuti salah satu madzhab
Langsung kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
Tasawwuf/thariqah
Menerima tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
Menolak tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
Pemikiran yang dominan
Pemikir Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha

*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain, meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
            Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain sebagainya.
            diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang. Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan kritik dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak mau memberi.
            Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya, peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan pemerintahan dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah dapat disatukan kembali.
            Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran, apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan melalui kritik-kritik itu.
            Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang cukup kuat.
            Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh Muhammadiyah juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah dilakukan dengan hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.
            Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai menimbulkan perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan. Selain itu, apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu. Begitulah pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
           
















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diulas diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan antara K.H. Hasyim Asy’ari dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan pendiri organisasi islam terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari “madrasah” (school of thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.
Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis) seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnyamembuka pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh ijtihad, menghidupkan kembali pemikiran islam.
Disisi lain, NU (Nahdhatul Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap pemikiran mereka.
Kedua organisasi tersebut memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat perbedaan yang nyata adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan adanya toleransi yang besar dari keduanya.
B.     Kritik dan Saran
Penulis merasa bersyukur atas terselesainya makalah ini walaupun terdapat banyak kekurangan yang masih harus dibenahi kembali dalam makalah ini. dan penulis membuka tangan dengan selebar-lebarnya untuk menerima kritik dan saran dari pihak pembaca demi kesempurnaan makalah ini yang tentunya bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

























DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Muhammad Khalid.1994.Soal Jawab Seputar Gerakan Islam.Bogor.pustaka thariqatul izzah, hal 1-3.
Hafizh Muhammad Al- Ja’bary.1996.Gerakan Kebangkitan Islam( Harakah A-Ba’ts Al-Islami),pnerjemah Abu Ayyub Al-Anshari.Solo.Duta Rahmah, hal 63.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar