BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
NU dan Muhammadiyah adalah dua
organisasi islam terbesar di Indonesia dengan jumlah massa masing-masing puluhan juta. keduanya
mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah
semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial
keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah
sebagai sebuah organisasi yang mewakili golongan muslim tradisional, sedang
yang kedua sering dikatakan sebagai perkumpulan yang mewakili muslim modernis.
Kalau NU lahir pada 31 januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat
belas tahun, yaitu pada 18 nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang
telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki
pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan
utuh. Keduanya merupakan organisasi tujuh zaman (istilah Mas Surya Paloh).
Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, Pendudukan Jepag,
Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru,
Dan Sekarang Era Reformasi.
Dilihat dari sudut historitasnya,
keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia,
tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik
memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda
depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing keduaya telah memberikan
kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius kedalam lokus
keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi
historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah
melalui perjalanan panjang dengan segala suka dan dukanya, maka kebersamaan
waktu antara sidang tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa
dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu)
era keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk
menfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu
dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun
Muhammdiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai
kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan koredornya “kembali ke Khithaah
1926” dan Muhamadiyah dengan slogannya “High politics” atau “politik luhur”,
perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural,
tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang
bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat. Keduanya mesti mengkonsentrasikan
gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu
sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah
konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba
saatnya keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
- Rumusan Masalah
- Mengetahui kronologi perbedaan NU dan MUHAMMADIYAH
- NU dan MUHAMMADIYAH siapa yang benar
- Tujuan
Mengetahui
dan memahami dua Organisasi Islam NU dan Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
Kronologi Perbedaan NU dan MUHAMMDIYAH
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya
mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah
semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial
keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah
sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang
kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim
modernis.
Tatkala Muhammadiyah sedang menyelenggarakan Sidang Tanwir
(mulai tanggal 24 Januari dan berakhir pada tanggal 27 Januari 2002 yang
bertempat di Denpasar Bali), maka tepat pada tanggal 31 Januari 2002 Nahdhatul
Ulama (NU) merayakan ulang tahunnya yang ke-76. Inilah sebuah koinsidensi
historis menarik yang terjadi awal tahun 2002 ini. Pertanyaannya kemudian,
apakah sesuatu yang menarik itu juga merupakan hal penting dan signifikan.
Jawabannya bisa dua, “ya” dan “tidak”.
Kalau dipandang dari dimensi “teks”nya semata, maka jelas
koinsidensi historis itu merupakan peristiwa biasa yang normal terjadi, karena
ia berlangsung secara kebetulan dan natural, tanpa ada disain dan rekayasa.
Dengan demikian, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Namun, jika ditelaah
dari sudut konteksnya, maka koinsidensi historis itu bisa diberi makna yang
lebih strategis dan penting. Dan agaknya cukup tepat memaknai koinsidensi
historis itu dari sudut pandang kontekstual ini.
NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya
mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah
semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial
keagamaan yang disegani.
Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah
sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang
kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim
modernis. Kalau NU lahir pada 31 Januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih
awal empat belas tahun, yaitu pada 18 Nopember 1912.
Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia
kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi
dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya, meminjam
istilah Mas Surya Paloh, merupakan organisasi tujuh zaman. Keduanya sama-sama pernah
menjalani masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan,
Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan sekarang era
Reformasi. Dilihat dari sudut historisitasnya, keduanya telah berperan cukup
besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan
fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang
bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang
dimiliki masing-masing, keduanya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit
dalam pengisian nilai-nilai religius ke dalam lokus keindonesiaan.
Pada optik itulah, koinsidensi historis NU-Muhammadiyah yang
terjadi ini memiliki makna penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan
segala suka dukanya, maka kebersamaan waktu antara Sidang Tanwir Muhammadiyah
dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk
mengoptimalkan secara serius (bukan semu) peran keduanya dalam konteks
sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk memfokuskan dan
mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.
Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan
sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammadiyah
secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan
tujuan yang dominan. NU dengan kredonya “Kembali ke Khithah 1926” dan
Muhammadiyah dengan slogannya “High Politics” atau “Politik Luhur”, perlu
semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak
pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek,
tentatif, dan sesaat.
Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada
penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti
akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian
besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya bagi keduanya
untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.
Untuk sampai ke arah itu, diperlukanlah keberanian moral untuk
mengakhiri dan menyudahi polarisasi politik antara NU dan Muhammadiyah yang
selama ini terjadi. Dalam konstelasi yang paling kontemporer, misalnya,
masing-masing perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB,
dan Muhammadiyah dengan PAN. Ini penting dikemukakan, karena walaupun secara
formal-institusional antara NU dengan PKB dan Muhammadiyah dengan PAN tidak
mempunyai hubungan, namun pertengkaran yang pernah terjadi antara Abdurrahman
Wahid (PKB) dan Amin Rais (PAN) bagaimanapun telah menyebabkan NU dan
Muhammadiyah berada dalam ketegangan dan hubungan yang tidak mesra. Dalam konteks itu, penegasan kembali
oleh Syafi’ie Ma’arif dalam Sidang Tanwir di Denpasar Bali bahwa Muhammadiyah
tidak memiliki hubungan organisasitoris dengan partai manapun, dan Muhammadiyah
tidak akan memasuki wilayah kekuasaan (Kompas, 28/1/2002) perlu mendapatkan
apresiasi yang cukup.
Begitu juga, walaupun menyulut kegeraman Ketua Dewan Syura
PKB Abdurrahman Wahid, ketidakhadiran Hasyim Muzadi dan Sahal Mahfudz (masing-masing
sebagai Ketua Umum dan Rais ‘Am PBNU) dalam MLB PKB versi Alwi Shihab di
Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya kira merupakan awal yang baik untuk
menjaga netralitas dan independensi NU berhadapan dengan berjibun partai
politik, sehingga NU tetap berada di garis orbitnya (Khithah 1926), setelah
sepanjang 1999-2001 seluruh energinya terkuras habis untuk megamankan posisi
Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Hubungan NU dengan PKB atau PAN dengan Muhammadiyah cukuplah
dimaknakan dalam hubungan historis-kesejarahan. PKB didirikan oleh PBNU yang
waktu itu diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dan kemunculan PAN tak terlepas dari
andil besar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amin Rais.
Secara lebih jauh, penarikan garis demarkasi yang tegas
antara NU dengan PKB atau Muhammadiyah dengan PAN merupakan langkah strategis,
agar NU dan Muhammadiyah bisa optimal bekerja pada gerakan pemberdayaan civil
society (istilah yang populer di kalangan NU) atau masyarakat madani (istilah
yang nge-trend di kalangan Muhammadiyah). Pilihan inilah yang paling ideal,
meskipun oleh sebagian politisi Islam akan dinilai tidak strategis dan
realistis. Namun, seharusnyalah baik NU maupun Muhammadiyah tetap mengutamakan
yang ideal tersebut, dan tidak begitu saja terjebak pada kubangan politik
praktis yang bersifat tentatif dan fluktuatif. Tegasnya, kedua organisasi
ijtima’iyah-diniyah ini dituntut untuk mencadangkan diri sebagai wahana
penciptaan dan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society).
Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis
di lapangan untuk menggiatkan kreativitas ekonomi rakyat. Sebab, telah cukup
lama warga NU dan Muhammadiyah berada dalam proses peminggiran yang tak
ketulungan. Ambil contoh, warga NU yang tinggal di desa-desa dan anggota
Muhmmadiyah yang berada di perkotaan telah dipertemukan dalam suratan yang
sama, yaitu marginalisasi ekonomi. Tengoklah, para petani yang tanahnya
terampas, penggusuran rumah pemukiman miskin (slum) di kota, para pedagang
batik dan kretek yang kelimpungan. Kurangnya perhatian terhadap kelompok
tertindas itu, menyebabkan mereka semakin terpojok berada di periferi secara
ekonomi.
Ketiga, sama-sama merumuskan agenda masing-masing yang pada
suatu ketika diarahkan pada pembentukan konvergensi--terutama dalam kerangka
peningkatan sumberdaya manusia. Untuk membenahi sistem pendidikan di
pesantren-pesantren milik warga NU, misalnya, para pengasuh pesantren tidak
perlu malu-malu dan segan untuk meminta masukan bahkan belajar banyak dari
kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang pengelolaan lembaga pendidikan. Kita tahu,
lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah mulai dari tingkat TK hingga
perguruan tinggi banyak mendapatkan pengakuan dari publik. Begitu juga, bagi
Muhammadiyah. Untuk mengatasi kelangkaan para ulama yang mampu merujuk dan
mengakses pada khazanah intelektual keislaman klasik, maka tidak mengapa jika
Muhammadiyah memasoknya dari NU yang konon sudah kelebihan stok untuk itu,
paling tidak hingga saat ini.
Keempat, memikirkan secara lebih serius mekanisme komunikasi
yang produktif di antara kedua organisasi Islam terbesar itu untuk mencari
titik-titik temu fundamental dan menghindari titik-titik pecah permukaan.
Sebab, antara kedua organisasi keagamaan terbesar itu, sesungguhnya memang
tidak ada perbedaan yang menyolok. Secara teologis, misalnya, antara keduanya
ditemalikan dalam dasar-dasar dan konsep-konsep fundamental keagamaan yang
sama. Tak dapat diragukan bahwa keduanya adalah termasuk golongan Muslim Sunni,
yang melaksanakan pokok-pokok keimanan dan sendi-sendi ibadah yang sama.
Perbedaan keduanya hanya menyangkut masalah furu’iyah yang jumlahnya bisa
dihitung dengan jari. Namun, dalam sejarahnya, masa`il furu’iyah inilah yang
seringkali memacetkan jalur komunikasi antarwarga dua ormas ini
Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis-krisis sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang sedang melanda bangsa ini. Sebab, akutnya kemelut yang melanda bangsa Indonesia hari ini agaknya tidak bisa dipasrahkan penyelesaiannya hanya kepada tangan negara. Di sini, NU- Muhammadiyah yang warganya paling dahsyat tertimpa badai krisis itu--mulai dari krisis ekonomi, sosial hingga krisis politik--harus mengorientasikan dan memfokuskan program kerjanya secara sungguh-sungguh pada advokasi dan pemberdayaan warganya. Seruan keprihatinan beberapa waktu yang lalu oleh para tokoh agama-agama yang juga menyertakan tokoh NU (Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (Syafi’i Ma’arif) bahwa Indonesia sedang berada di ambang kebangkrutan dan kehancuran, harus segera dilanjutkan kepada kerja-kerja yang lebih konkret.
Muhammadiyah dan NU adalah
organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks Indonesia Muhammadiyah dan
NU adalah mewakili dua golongan besar ummat islam secara fiqih juga.
Muhammadiyah mewakili kelompok “modernis”(begitu ilmuan menyebut), yang
sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti
Persis(Persatuan Islam), Al-irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul
Ulama) mewakili Kelompok “tradisional”, selain Nahdhatul Wathan, Jami’atul
Washliyah, Perit dan lain-lain.
Kedua organisasi memiliki
berbagai pebedaaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah
dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang (bahkan
membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan , bahkan
masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud sahwi, dan
berbagai masalah lain. Alhadulillah perbedaan pandangan ini sudah tidak
menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari
keduanya.
Pandangan antara keduanya memang
berasal dari “madrasah”(school of thought) berbeda, yang sesungguhnya
sudah sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan)
adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional)
sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperi Ibnu Taimiyyah, Muhamad Abdul
Wahab. Wacana pemikran modern misalnya membuka pintu ijtihad kembali ke
al-qur’an dan sunnah, tidak boleh taqlid, menghidupkan pemikiran islam.
Sedang wacana salaf adalah
bebaskan takhayyul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang
dominan terutama di grass rootnya adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah
sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak kategori TBC
tersebut justru diamalkan dikalangan NU, bahkan di anggap sunnah. Karena
sifatnya yang dinamis, praktis, dan rasional, Muhammdiyah diikuti kalangan
terdidik dan masyarakat kota.
Disisi lain NU (Nahdhatul Ulama),
didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk menghidupkan
tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah
memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU lebih nampak
dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran
Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan
mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap
pemikiran mereka.
Berikut secara ringkas perbadaan
pandangan antara keduanya:
MASALAH
|
NU
|
MUHAMMADIYAH
|
Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu sunnah)
|
Mengikuti
paham Asy’ariyah/Maturidiyah
|
Mengikuti
paham salaf/wahabi* (Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim)
|
Fiqih
|
Keharusan
mengikuti salah satu madzhab
|
Langsung
kepada Alqur’an dan Sunnah, dan Tarjih(memilih pendapat yang terkuat)
|
Tasawwuf/thariqah
|
Menerima
tasawwuf, dan thariqah yang mu’tabar(diakui)
|
Menolak
tasawwuf dan thariqah(tetapi banyak yang apresitif secara individual dan
selektif, missal HAMKA dengan tasawwuf modernya)
|
Pemikiran yang dominan
|
Pemikir
Klasik: Asy’ari, Al-Ghazali dan Nawawi, dan lain-lain
|
Ibnu
Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
|
*Istilah wahabi diberikan oleh kelompok lain,
meraka sendiri lebih menyukai disebut muwahhdin(orang yang mengesakan).
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadah, sesungguhnya tidak
masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah raka’at
dalam shalat taraweh, menggunakan qunut dan tidak, mengawali ushalli dalam
mengawali shalat atau tidak, shalat hari raya dimasjid atau dilapangan, shalat
jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain
sebagainya.
diluar peribadan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri
sedangkan orang Muhammadiyah tidak mau mengundang tetapi mau diundang.
Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan
kritik dari orang NU, misalnya orang Muhammadiyah mau diberi akan tetapi tidak
mau memberi.
Perbedaan paham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara
tajam. Akan tetapi , sebagaimana masyarakat desa pada umumya, masih memiliki
lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalya,
peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan pemerintahan
dan sejenisnya. Betapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah dapat
disatukan kembali.
Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan
juga ejekan. Sindiran atau ejekan kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara
dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra
produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali
kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran,
apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena
itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil
dengan cepat sebagai salah satu sebabnya adalah cara dakwahnya dilakukan dengan
melalui kritik-kritik itu.
Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh beberapa angota
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang dakwah kultural, mungkin itu tepat
dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan
kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak
dilakukan pada saat itu, maka paham ini tidak akan menemui eksistensi yang
cukup kuat.
Tokoh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar
apalagi NU sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan
pandangan berbagai macam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh
Muhammadiyah juga bukanlah hal yang baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah
dilakukan dengan hati-hati, tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat
islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang
ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.
Semangat dan gerakan dakwah menyampaikan risalah Rasulullah sebagaimana yang
telah banyak dilakukan baik oleh orang NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan
misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut Al-Qur’an dan juga
Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah agar jangan sampai
menimbulkan perasaan sakit hati yang kemudian berujung terjadi perpecahan.
Selain itu, apapun dalih yang digunakan semestinya cara-cara dakwah tidak boleh
mengganggu kesatuan dan persatuan umat islam. Umat islam harus tetap bersatu.
Begitulah pesan al-qur’an dan tauladan Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diulas
diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan antara K.H. Hasyim Asy’ari
dengan K.H. Ahmad Dahlan yang keduaya merupakan pendiri organisasi islam
terbesar yang ada di Indonesia memang berasal dari “madrasah” (school of
thought) berbeda yang sesungguhnya terjadi sangat lama.
Muhammadiyah (lahir 1912,
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi
pemikir-pemikir modern seperti Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf(yang literalis) seperti
Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnyamembuka
pintu ijtihad , kembai kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak boleh ijtihad,
menghidupkan kembali pemikiran islam.
Disisi lain, NU (Nahdhatul
Ulama), didirikan antara lain oleh KH. Hasyim Asy’ari, 1926, lahir untuk
menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. sedikit banyak kelahiran
Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Beda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU
lebih nampak dipedesaan.
Sebenarnya KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy’ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’I di Mekkah. ketika bergaung pemikiran
Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH. Ahmad Dahlan sangat tertarik dan
mengembangkan di Indonesia. sedangkan KH. Hsyim Asy’ari justru kritis terhadap
pemikiran mereka.
Kedua organisasi tersebut
memiliki berbagai perbedaan pandangan. dalam masyarakat perbedaan yang nyata
adalah dalam berbagi masalah furu’ (cabang). Misalnya Muhammadiyah melarang
(bahkan membid’ahkan) bacaan qunut diwaktu shubuh, sedang NU mensunnahkan ,
bahkan masuk dalam ab’ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud
sahwi, dan berbagai masalah lain. Alhamdulilah perbedaan pandangan ini sudah
tidak menjadikan petrentangan lagi karena kedewasaan dan adanya toleransi yang
besar dari keduanya.
B. Kritik dan Saran
Penulis merasa bersyukur atas
terselesainya makalah ini walaupun terdapat banyak kekurangan yang masih harus
dibenahi kembali dalam makalah ini. dan penulis membuka tangan dengan
selebar-lebarnya untuk menerima kritik dan saran dari pihak pembaca demi
kesempurnaan makalah ini yang tentunya bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Muhammad Khalid.1994.Soal Jawab Seputar
Gerakan Islam.Bogor.pustaka thariqatul izzah, hal 1-3.
Hafizh Muhammad Al- Ja’bary.1996.Gerakan
Kebangkitan Islam( Harakah A-Ba’ts Al-Islami),pnerjemah Abu Ayyub
Al-Anshari.Solo.Duta Rahmah, hal 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar